Bangga dan senang rasanya ketika obrolan di markas sudah berkembang ke pengetahuan-pengetahuan manajemen. Gak melulu membahasa omzet dan pilpress. Gak tahu kesurupan setan apa, pulang-pulang dari roadshow Sumatera, salah satu partner saya ini jadi keranjingan mengamati hal-hal yang berbau manajemen dan mengajak diskusi….kadang berdebat juga sih…. SERU!
Salah satu hal yang membuat saya terhenyak adalah obrolan mengenai REWARD & PERFORMANCE. Tidak hanya diobrolkan, teman ini bahkan dengan riang membacakan buku-buku rujukannya terkait hal ini. Dibacakannya dengan lantang agar kami semua yang hadir mendengar dengan jelas dan memperhatikannya. Tidak semua saya ingat karena memang hari sudah larut, dua jarum jam sudah bertumpuk satu sama lain tegak lurus ke atas. Saya sih tidak mampu jika harus mengulang apa yang dibacakannya. Namun, saya paling inget adalah perihal gaji dan bonus direksi sebuah BUMN yang memiliki kesenjangan luar biasa dengan tim yang “sebenarnya” menjadi ujung tombak bisnisnya. Sadis….. hanya itu yang tersirat dalam pikiran…. dan hal ini semoga tidak terjadi di markas kami….
Ketika semua direksi menerima gaji besar dan bonus sudah pada angka 9 digit dan bahkan 10…. sementara tim yang langsung berhubungan dengan konsumennya masih belum diangkat jadi karyawan tetap dan bahkan banyak yang masih alih daya… tentu kita tahu kisaran gaji mereka. Hal ini terbolak-balik dengan club bola di Eropa memang… (jangan club negeri sendiri lah….tahu kan?). Ujung tombak, apa lagi yang tajam dan haus gol tentunya akan menerima hasil yang besar…. he..he…
Mungkin saja hal ini tidak hanya terjadi di BUMN yang notabene merupakan perusahaan negara, di perusahaan swasta tentu tidak jauh berbeda. Apalagi perusahaan swasta yang kebetulan dikelola oleh para pemilik atau pemegang sahamnya. Apakah hal tersebut salah? Tegas saya jawab sendiri TIDAK. Saya yakin mereka sudah punya penilaian, perhitungan, pertimbangan, dan alasan….(yang beribu-ribu tentunya).
Namun, sebagai komentator, saya berpendapat bahwa hal tersebut sebagai sebuah kesenjangan. Ketika saya memosisikan diri sebagai karyawan pada level ujung tombak ini, ada hal-hal yang akan saya rasakan ketika saya mengetahu kesenjangan ini.
- PARADOKS MOTIVASI. Ketika pikiran saya berkembang liar… buat apa saya bekerja keras membina hubungan baik dengan klien atau menjual sebanyak-banyaknya kalau hanya akan memperkarya direksi. Kaya memang menjadi hak setiap orang…tapi kalau kaya sendiri sepertinya menjadi tidak manusiawi. Bagaimana rasanya ketika saya harus keliling ke klien dan area pemasaran dengan berpanas-panasan, tinggal di rumah petak yang belum terbayar, sementara mereka bisa nyaman di atas jok mobil milyaran dan bahkan banyak ruang-ruang di rumahnya yang tidak terfungsikan. Memang pikiran-pikiran seperti yang saya utarakan ini sebenarnya “haram” untuk dipikirkan oleh seorang karyawan yang visioner. Menurut saya, tidak akan maju karyawan yang memiliki pemikiran demikian. Namun bukan itu inti dari coretan saya ini, lebih ke SENSE OF FAIRNESS yang seharusnya kita miliki ketika kita duduk sebagai pemegang kendali. Ketidak-fair-an (unfair) pada segala hal akan dapat menimbulkan demotivasi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dan jika hal sudah terjadi tentu akan punya imbas ke perusahaan bukan?
- PARADOKS EFISIENSI. Ketika keseharian kita bepergian menggunakan kendaraan dan berasa bahwa pengeluaran untuk bahan bakarnya menjadi sangat boros, apa yang akan dilakukan? Apakah Anda akan menyalahkan kebijakan naiknya harga bahan bakar? Apakah akan mengganti kendaraanya? Apakah akan melakukan servis kendaraanya? Ataukah Anda akan mengurangi jarak tempuh dan rute perjalanan? Jika kita ingin berhemat dan langkah yang dilakukan adalah mencoba “mengakal-akali” beberapa komponen kendaraan agar lebih hemat, saya bilang ini adalah langkah kreatif tetapi juga BODOH. Anda hanya ingin menjadi seolah-olah pintar tetapi kepintaran ini tidak tersalurkan pada tempat yang benar. Jika memang tujuan utamanya untuk berhemat, kenapa Anda tidak mengganti kendaraan dengan yang lebih hemat, atau bahkan Anda naik saja angkutan umum. Menjadi tidak nyaman sudah pasti… tapi ingat goal utamanya…ingin berhemat bukan? Sama halnya dengan sebuah perusahaan. Ketika ingin berhemat kenapa tidak dimulai dari ATAS dan kenapa harus dari BAWAH. Ketika digembargemborkan efisiensi sehingga tidak ada kenaikan gaji, tidak ada pembagian bonus, dll yang sifatnya pengeluaran-pengeluaran pada pos kecil dan tidak signifikan, kenapa tidak dimulai saja dari penundaan remunerasi direksinya atau lebih ekstrim pengurangan benefitnya. Saya yakin seyakin-yakinya, terutama pada perusahaan menengah bahwa persentase antara benefit direksi sama besar dan bahkan lebih dari total benefit ratusan karyawannya. Ketika kebijakan yang salah sasaran inilah maka saya menyebut efisiensi sebagai sebuah paradoks.
- PARADOKS KINERJA. Bicara kembali mengani motivasi dan efisiensi di atas, hal ini akan sangat terkait dengan performance dari sebuah proses bisnis. Kembali juga pada penghematan kendaraan ketika kita “akal-akali” komponennya, tentu aka mengakibatkan kendaraan mudah panas, tidak bisa dibawa ngebut, dan lebih celakannya mogok di tengah jalan. Memang ketika kita memberikan gaji dan bonus yang lebih, dengan sendirinya akan memacu semangat kerja. Tapi tentu kta bisa menimbang siapa-siapa yang akan terpacu dan siapa-siapa yang hanya akan terpaku. Tidak mungkin kita bisa memacu kereta ketika lokomotifnya kita suapi bahan bakar yang lebih tetapi roda gerbong belakangya tidak pernah kita lumasi. Tetapi juga kita harus paham ketika semua roda sudah kita lumasi tetapi masih saja ada yang berbunyi dan tidak mau lari, berarti sudah saatnya diganti. Prinsipnya pemberian benefit harus tepat sasaran sesuai dengan azas pemerataan dan performance masing-masing sesuai kontribusi.
Salah benar semoga coretan saya bisa menjadi inspirasi.